RISIKO KESEHATAN GLOBAL: Memaknai Dampak Perubahan Iklim

Oleh: Nova Destika Ramadhani
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mandala Waluya

Fajarsultra.com Masalah pemanasan global (Global Warning) bukan masalah Indonesia saja, melainkan juga masalah dunia. Berkali-kali masalah ini dibahas di tingkat internasional untuk mencari jalan keluar cara mengatasinya. Namun, berkali-kali juga negara-negara tersebut, yang mengikuti konferensi—khususnya negara besar yang berpengaruh—belum sepakat mengambil keputusan strategis dan mendasar sehingga penanganan untuk menekan emisi karbon di tingkat internasonal sementera waktu mandek (stagnan).

Sementara itu, produksi emisi karbon dunia terus meningkat. Akibatnya, pemanasan global yang meningkatkan suhu bumi 1,5 derajat celsius belum mampu ditekan, bahkan cenderung menaik.

Dampak dari pemanasan global nyata dan di depan mata. Harian Kompas (25/7/2021) memuat berita berjudul ”Cuaca Dunia Semakin Ekstrem”. Banjir yang terjadi di negara China, India, dan Jerman mengirimkan sinyal yang kuat bahwa perubahan iklim membuat cuaca makin ekstrem di seluruh dunia. Dibutuhkan perubahan signifikan untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana serupa pada masa mendatang.

Dibutuhkan perubahan signifikan untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana serupa pada masa mendatang

Kondisi di Eropa dan AS saat ini bukan tidak mungkin suatu saat akan terjadi di negara-negara tropis seperti Indonesia. Gejala-gejala awal telah terjadi di negara kita. Buktinya, siklus iklim tahunan yang biasa dikenal April-Oktober-April selama ini sudah tidak dapat dipegang lagi waktunya. Musim hujan dan kemarau di Indonesia sudah bergeser waktu dan jadwalnya dan lebih memprihatinkan adalah susah diprediksi.

Pertanyaannya adalah bagaimana kita memaknai perubahan iklim yang semakin ekstrem di Tanah Air. Langkah-langkah apa saja yang konkret dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim yang ekstrem ini.

Memaknai dampak perubahan iklim
Sikap kita dalam memaknai dampak perubahan iklim selayaknya seperti saat kita menghadapi pandemi Covid-19, yaitu harus dihadapi secara global, bersama-sama dengan negara-negara lain. Minimal komitmen Pemerintah Indonesia yang akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri hingga tahun 2030 tetap dapat dipegang teguh dan dipenuhi.

Perkara nantinya terdapat manfaat sampingan berupa potensi karbon dari hutan alam tropis dan tutupan hutan yang masih tersisa dan dapat dijual kepada negara-negara maju yang membutuhkannya, anggaplah sebagai bonus dan berkah dari kekayaan sumber daya alam Indonesia.
sebagaimana diketahui, Indonesia sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antar negara.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon ini yang nilainya berkisar 82 miliar dollar AS sampai 100 miliar dollar AS. Angka ini didapat karena Indonesia merupakan 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut, hingga terumbu karang. Namun, angka-angka dollar yang menggiurkan tersebut tidak semudah membalik tangan seperti jual beli barang biasa.

In the news
Load More